Kamis, 05 Januari 2012

chapter 1


“bagaimana ini hyun, kamu harus segera syuting ?!”, dengan nada cemas
“tapi di luar sedang ada badai salju, jadi tak mungkin kalau perjalanan di tempuh dengan mobil?!”
“tak adakah cara lain?!”
“ada, tapi sepertinya sangat beresiko?”
“apa?”
“hyun joong berangkat syuting dengan kereta api bawah tanah?”
“baiklah kalau begitu aku naik kereta api bawah tanah saja”
“kau yakin hyun?!”
“sudahlah, jangan khawatir, aku berangkat”
“hyun tunggu, bagaiman jika para fansmu menyadari kehadiranmu?!
“ hyun . . hyun . . hyun joong . . .”
###
“maaf yah sayang mama dan papa tidak bisa mengantarmu jadi berangkat sendiri yah, uang dan tiket keretanya sudah kami siapkan di atas tempat tidur, nanti kalau sudah sampai langsung hubungi kami yah agar kami tidak khawatir?!”
“bagaimana mama ini, kenapa tiba – tiba tak bisa mengantarkanku begini?”
“mama dan papa ada urusan yang sangat penting, ada diskon 90% untuk barang – barang elektronik di toko ujung jalan, kami tak mungkin melewatkan kejadian langka ini, hati – hati di jalan yah sayang, doakankami juga agar dapat membeli banyak barang yang bagus, bye . . bye . . ?!”
“halo, halo . . mama ?!”
“aishh . . bagaimana mama iniketerlaluan sekali, kenapa telfonnya langsung di matikan begini, kalau memang khawatir dengan keadaanku kenapa tidak mengantarkanku sampai tempat tujuan dasar mereka itu,ahhgg . . mengapa lebih mementingkan diskon dari pada anaknya sendiri ?!”
###
20 Desemeber 2011, 15.38. Dalam dinginnya hujan salju di sebuah stasiun kecil pinggiran kota setelah menempuh perjalanan jauh menggunakan kereta api bawah tanah. Aku berjalan santai menuju pintu keluar untuk melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan aku menghentikan langkahku karena ku dengar operator memberikan informasi bahwa hujan salju telah berevolusi menjadi badai salju yang cukup menggila di luar sana. Akhirnya Ku putuskan untuk duduk menghadap ke jendela yang tampak buram oleh dinginnya temperatur musim dingin, ku pasang headset di telingaku untuk mendengarkan sebuah lagu pembunuh sepi. Dalam diam aku memainkan bola mataku ke kanan dan ke kiri mengamati ramainya stasiun kecil ini, melihat orang – orang yang berlalu – lalang yang sedang sibuk dengan aktivitasnya. Ada yang sedang mengobrol begitu serius hingga tertawa terbahak bahak. Di sudut satasiun ada barisa orang – orang yang sedang duduk tertidur dalam balutan dinginnya musim yang mencapai minus 10 ini. Tiba – tiba mataku tertuju pada seorang laki – laki yang memakai Jaket kulit warna hitam, topi casual warna coklat, kaca mata hitam dan masker warna putih. Kulihat dia berjalan pelan, mondar – mandir seperti setrika, entah sedang mencari apa atau bingung mau kemana. Benar – benar lelaki aneh yang lucu.
Sepertinya aku mulai bosan menunggu badai salju yang tak kunjung selesai, ku naikkan volume musikku, ku mainkan lagu Avenged yang berjudul a little piece of heaven. Ku goyangkan badanku ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang mengikuti irama lagu. Ku rasakan tubuhku semakin dingin, ku lihat jam tangan hitam yang ku kenakan. 17.48. sejak dari tadi siang perutku tak terisi oleh makanan apapun. Ku rasakan cacing di perut sudah mulai berdemo. Tapi di sore yang dingin ini aku benar – benar sedang tak nafsu makan. Ku lihat sebuah mensin coffee yang tak jauh dari tempat dudukku. Ku hampiri mesin itu dan memasukkan uang kedalam mesin dan ku pencet – pencet tombolnya. Coffee panas pun siap tuk dinikmati, ku sruput sedikit demi sedikit coffee panas itu untuk pengganjal perut. Di samping mesin coffee tersebut aku melihat laki – laki aneh tadi bersandar di dinding seperti cicak sambil sibuk memainkan jemarinya pada sebuah handphone berwarna silver entah siapa yang sedang ia hubungi.
Saat aku sedang memperhatikannya,Tiba – tiba saja ia bersin dengan sedikit keras. Setelah bersin ku lihat maskernya sedikit basah. Dengan spontan aku berkata “Iiiuuhh, itu ingus atau air ludah?”. Mendengar perkataanku dia kaget, sontak dia langsung mengusap – usap mulut dan hidungnya kemudian melepas maskernya. Saat dia melepas maskernya ku lihat sebuah wajah yang familiar, benar – benar tak asing bagiku.
“hyun joong”
“kim hyun joong yah ?”
Dia kaget saat aku sebut nama itu, dengan gopoh ia segera berlari menjauh pergi dari keramaian. Namun terlambat sepertinya volume suaraku terlalu keras karena efek tingginya volume music yang ku dengarkan. Ku lihat orang – orang di sekitarku, semuanya melihat kearah kita. Menyadari itu hyun joong langsung berlari ke arah pintu keluar yang berada tak jauh di belakangku. Melihat hyun joong lari tanpa piker panjang aku pun ikut lari membuntutinya. Dan para fans pun tak mau kalah, mereka ikut berlari mengejar hyun joong. Terjadi kejadian kejar – kejaran yang cukup seru di sana antara hyun joong yang ingin menghindari fansnya, aku yang mengejar hyun joong serta fans hyun joong yang menginginkan hyun joong. Satasiun kecil itu terlihat begitu ramai karena teriakan histeris para fans hyun joong. Semua mata terpana pada kejadian ini. Hingga akhirnya aku dan kim joong berlari keluar stasiun dan membelah badai salju dengan kecepatan lari kita.
Saat berlari aku mencobah menoleh ke belakang sebentar, para fans hyun joong sudah tak terlihat. Mungkin karena badai yang cukup hebat ini membuat jarak pandang berkurang jadi para fans kehilangan jejak kami. Ku lihat hyun joong terus berlari mengikuti bentuk jalan, saat berlari ia terlihat begitu keren seperti di drama seri yang biasa ia bintangi, saat itu rasanya otakku sedang piknik ke suatu tempat dan meninggalkan kepalaku karena aku tak bisa berfikir apa pun. Yang ku tahu hanyalah berlari mengikuti hyun joong. Saat tiba di persimpangan jalan, hyun joong memperlambat langkahnya sepertinya ia bingung mau berlari ke arah mana, di sanalah aku mempercepat langkahku dan meraih tangan hyun joong.
“hyun joong, para fansmu sudah tak mengikuti kita lagi, berhentilah berlari?!”
Hyun joong melihat ke belakang, setelah memastikan tak ada yang mengikutinya dia melangkahkan kakinya pada sebuah toko kecil di persimpangan jalan. Ku tarik lengannya.
“mau kemana, mau ke toko, nanti ada orang yang mengenalimu!”
Sepertinya Hyun joong tak mendengarkan kata – kataku dia tetap masuk ke dalam toko itu. Aku pun ikut masuk ke dalam toko. Toko kecil yang menjual makanan ringan itu sepertinya sepi pembeli karena badai salju yang tak kunjung berhenti. Di dalam toko, ku lihat kim joong menyembunyikan wajahnya di balik kerah jaketnya. Si pemilik toko adalah perempuan tua yang sanangat ramah, suaranya terdengar begitu bersahabat, dagunya terdapat belahan yang menambah cantik wajahnya. Kesahajaan tergambang jelas di wajahnya, bahkan tebalnya kacamata yang ia kenakan tak dapat menutupi kelembutan sinar matanya.
“nek, kami berdua boleh numpang berteduh sebentar di sini yah, badai salju di luar begitu hebat”
“iyah nak, silahkan, anggap saja rumah sendiri, di sana ada kursi, duduklah dan buat tubuh kalian senyaman mungkin”
“terima kasih nek”
Ku langkahkan kaki ku menuju kursi yang di maksud oleh si nenek, baru beberapa langkah aku berjalan, aku tersadar bahwa hyun joong tak mengikuti langkahku, ku menoleh ke belakang. Dia tetap berdiri tegap di depan sang neneksambil bertanya tentang daerah sekitar. Aku hentikan langkah kakiku dan menatapnya dalam – dalam, ganteng sekali dia. Hyun joong tersadar bahwa aku sedang memandanginya. Tapi reaksinya tak sesuai dengan harapanku. Saat dia tahu aku memandanginya, ia langsung memalingkan tubuhnya, membelakangiku. Entah apa yang sedang aku pikirkan saat itu, aku malah berjalan menghampirinya dan menarik lengannya, mengajaknya untuk duduk bersamaku. Lagi – lagi ia memberikan respon yang mengecewakan. Ia tarik lengannya dari jemariku dan berjalan menjauhiku. Ia bersandar di sebuah tembok dekat toilet dan mengambil handphone dari saku jaketnya, sepertinya ia sedang mencoba member tahutentang keadaannya sekarang pada managernya, sedangkan aku duduk di dekat pintu masuk diam mematung dalam dingin.
Di dalam toko kecil itu kami saling diam. Ku hanya berani memandanginya dari jauh dan takut mengajaknya berbicara. Lama kita menunggu badai berhenti, perutku berbunyi makin keras tanda keanarkisan cacing yang sedang demo dalam perut menuntut hak mereka untuk di beri makan. Sekitar dua jam kemudian, saat jam dinding toko menunjukkan pukul 19.36, si nenek pemilik toko memberitahu kami bahwa badai telah berhenti. Ku lihat ke luar lewat pintu toko yang terbuat dari kaca. Badai benar – benar telah berhenti. Butiran putih dari langit berganti dengan pancaran centil sinar lampu jalanan. Dari ujung jalan ku lihat segerombolan gadis ABG sedang menyisir jalan, sepertinya mereka sedang mencari sesuatu. Mereka berteriak memanggil seseorang. Ku pasang telingaku baik – baik tuk mendengarkan suara mereka “oppa, kim joong. Aku tersadar dan langsung berteriak pada hyun joong.
“ada fans kamu di luar, mereka menyisir jalan dan meneriakkan namamu, sepertinya mereka sedang mencari kamu?!”
Kim joong melihat keluar lewat pintu kaca tersebut. Sepertinya ia panic.dengan segera Ia merapikan kerah bajunya agar menutupi wajahnya. Menurutku itu tidak efektif, mereka yang diluar itu bukan nenek – nenek yang dapat di kibuli dengan mudah. Mereka fans berat hyun joong yang yang paham betul tiap detil bentuk dan rupa tubuh serta wajah hyun joong, mereka segerombolan fans berat yang rela menyisir jalan saat badai baru saja berhenti. Saat kim joong ingin keluar dari toko, lagi – lagi aku harus menariknya, namun kali ini bukan lengannya yang ku tarik tapi jaketnya.
“hyun, lebih baik kamu memakai maskermu yang tadi, jangan kamu sembunyikan wajahmu dengan kerah jaketmu karena menurutku itu percuma, mereka akan tahu itu kamu”
Namun lagi – lagi hyun joong tak mau mendengarkan kata – kataku, ia tetap melangkah pergi tanpa memakai masker. Saat ia keluar dari toko, seperti dugaanku para fans tahu kalau itu dia. Mengetahui bahwa ia menemukan sosok idolanya, para fans langsung berteriak histeris dan buru – buru mengejarnya dengan semangat yang menggebu – nggebu seperti seorang prajurit yang siap bertempur. Buatku itu terlihat dan terdengar begitu mengerikan. Menyadari itu Hyun joong langsung berlari pergi, masuk ke sebuah gang kecil di sebelah kiri toko kecil ini, tak lama kemudian aku segera menyusul di belakangnya dan beberapa langkah di belakangku ada puluhan fans berat hyun joong begitu antusias untuk mengejarnya. Sekali lagi adegan kejar – mengejar terjadi. Kali ini sepertinya akan lebih seru lagi karena tempat kita main kucing – kucingan ini adalah gang kecil yang sempit, yang tanagnya di penuhi oleh salju serta penerangan yang buruk. Akankah hyun joong bisa melarikan diri dari fansnya dan menyelamatkan hidupnya dari antusiasme fans beratnya?!

Selasa, 03 Januari 2012

KSN chapter 1

Gerimis membasahi butiran tanah pagi ini, mendung di angkasa menutupi sinar centil sang mentari. Kicau burung di gantikan oleh merdunya nyanyian kodok dan jangkrik. Tak terlihat wajah semangat dalam aktivitas pagi para makhluk dunia, yang ada hanya wajah kesal karena harus berbasah – basah di pagi yang dingin.
Keadaan seperti inilah yang membuat mood Nadira tak sebaik biasanya. Gadis pendiam berwajah jutek yang suka senyum sinis ini sudah memasang raut masam sejak dari rumah. Apalagi sekarang angkot yang biasa mengangkutnya ke sekolah tak kunjung datang. Padahal Gerimis sudah hampir membuat jaketnya basah kuyup. Menggigil kedinginan di pinggir jalan yang di duetkan dengan perut yang lapar karena belum sempat makan membuat Nadira semakin terlihat bak nenek sihir yang siap memangsa anak kecil.
Padahal hari ini hari pertama Nadira masuk sekolah sebagai siswa kelas 3. Semalam ia telah banyak membuat rencana, agenda serta mimpi yang ingin ia gapai selama status siswa kelas 3 melekat padanya. Namun sepertinya gerimis telah memudarkan itu semua. Contohnya adalah Rencana Nadira untuk masuk pagi dan memilih bangku yang strategis pun gagal total gara – gara gerimis dan angkot yang tak kunjung datang.
10 menit menunggu, Akhirnya angkot berwarna kuning berlapis hijau yang hanya bisa memuat 15 orang itu pun datang bak kereta kencana penghapus lara. Nadira naik dan duduk di samping pak supir yang sedang menyupir, mengendarai angkot supaya baik jalannya. Ngeng, ngeng, ngeng. 30 menit kemudian sampailah Nadira di depan SPBU. Nadira turun masih dengan muka yang masam karena gerimis tak kunjung berhenti membasahi bumi.
Di depan SPBU Nadira melihat kepadatan manusia yang mengerumuni SPBU tersebut. Bukan hanya untuk mengisi bahan bakar tapi manusia – manusia itu hanya mampir sebentar untuk numpang memakai jas hujan karena kini bukan lagi gerimis yang turun tapi hujan di sertai angin sepoi – sepoi atau numpang buang air di toilet SPBU tersebut. Namun Nadira turun di depan SPBU bukan untuk mengamati aktivitas itu. Dia sengaja turun di depan SPBU karena di samping SPBU tersebut ada jembatan penyebrangan yang harus dia lewati agar bisa sampai ke sekolahnya.
Setelah berhasil melewati jembatan penyebrangan dengan ratusan anak tangga yang membuat tenaganya habis, Nadira masih harus berjalan sekitar 100 meter untuk bisa menuntut ilmu. Hujan makin menggila, angin pun sudah tak sepoi – sepoi namun berevolusi, semakin menggila menyerupai puting beliung. Nadira pun berlari, kubangan air pun dia lalui dengan sangat tidak hati – hati. Akibatnya sepatu dan kaos kakinya basah. “sempurna sudah penderitaanku”, batinnya.
Sampailah Nadira di depan gerbang sekolahnya. Madrasah Aliya Negeri Sumadya atau yang biasa di sebut dengan MANSDA. Satu – satunya Madrasah Aliyah Negeri yang ada di kotanya. Begitu memasuki gerbang berlapis dua itu Nadira sedikit mengurangi kecepatan langkah kakinya agar tak terpeleset di atas lantai yang juga basah. Lantai di depan kelas – kelas memang terkenal sangat licin apa lagi saat hujan melanda.
Hati Nadira sedang tak tenang walau sudah mengurangi kecepatan langkah kakinya namun kecemasan tergambar jelas di mukanya. Yang sedang dia pikirkan adalah tempat duduk. Rupanya dia masih mengharap bisa dapat tempat duduk yang strategis walaupun ia tahu kalau dia sudah sangat terlambat dan sepertinya tak mungkin mendapatkannya. Saat Nadira bergelut Dalam kecemasan yang tak menentu inilah tiba – tiba Nara menepuk bahunya.
“eh, nadira, kamu tahu engga sih, kakak kelas kita yang dulunya anak IPA 1 sekarang udah keterima masuk ke PTN yang ada di Surabaya loh?”, langsung nyerocos tak tentu arah
“kakak kelas yang mana sih Na?”, mencoba menanggapi omongan Nara
“haduh, kamu ini, kakak kelas yang pinter banget itu loh, yang pernah bawa mobil ke sekolah, Mas Bagus kalo nggak salah namanya”
“oalah, Bagus Ardiansyah toh?”
“iyah, yang keren itu loh, tahu nggak kamu dia masuk jurusan apa ?”, dengan gaya hebohnya yang melegenda
“mana aku tahu, emang masuk jurusan apa ?”
“jurusan kedokteran”
“asem, beneran masuk kedokteran, itu kan mahal gila bok?”, pura – pura kaget dengan gaya ala Fitri Tropika untuk menyenangkah hati Nara
“enggak usah kagetlah dia kan tajir gila”
“ iyah lah, dia kan sempet menggemparkan satu sekolah dengan membawa mobil ke sekolah”, mulai males menanggapi omongan Nara
“iyah dong sapa dulu Mas . . .
“yah udahlah yah, enggak usah di bahas lagi masuk ke kelas yuk”, potong Nadira sambil berjalan mendahului Nara
“eh Nadira aku belum selesai ngomong?”
Dasar si Nara, padahal seragamnya lebih basah dari Nadira dan mukanya pun lebih acak – acakan dari Nadira, namun masih sempat ngegosipin orang. Saat melangkahkan kaki, Nadira merenungi kata – kata Nara. Memang benar sih kalau ingat nama Bagus Ardiansyah, yang tergambar pertama kali adalah anak paling kaya di sekolah. Laki – laki jangkung yang selalu mengenakan kaca mata itu memang tak terlalu ganteng, tapi kalau di bandingkan dengan teman – temannya dia cukup bening. Kulitnya putih, bajunya selalu terlihat baru tak pernah terlihat lecek dan bau. Dia begitu terkenal karena kekayaanya, walaupu tak sekaya keluarga Bakrie namun menurut masyarakat MAN tetap saja dia kaya. Maklumlah, seperti kebanyakan Madrasah Aliyah lainnya, sekolah Nadira juga di dominasi dengan siswa yang latar belakang ekonomi keluarganya adalah menengah ke bawah. Karena itulah satu sekolah langsung gempar ketika Bagus Ardiansyah pergi ke sekolah dengan mengendarai mobil.
Begitu sampai di pintu kelas, Nadira langsung di sambut dengan senyum manis Ratna, sahabat baiknya.
“hai Nad, kita dapat bangku paling depan, bangku yang pas banget berada di depan meja guru ?!”, sambil menggeret tangan Nadira
Nadira berjalan tergopong memasuki kelas yang bergorgen hijau itu karena tarikan tangan Ratna.
“ini dia bangku kita strategis banget kan?!”
“ya ampun Ratna makasih banget yah, aku kira enggak bakalan dapet posisi yang strategis karena telat masuk”.
Ratna tersenyum manis. Nadira benar – benar bersyukur karena mendapatkan posisi duduk yang strategis walaupun hari ini banyak sekali kesialan yang dia dapat. Menurut Nadira posisi duduk sangat penting karena dia meyakini petuah yang berbunyi posisi menentukan prestasi. Nadira langsung duduk di kursi yang sudah tersedia untuknya, segera ia melepaskan jaket dan sepatu serta kaos kaki yang basah sambil mengamati kelas barunya. Kelas yang terlalu sempit, cat tembok berwarna hijau mudah dan beberapa rumus yang terpajang di tembok. “adem”, itulah kata Nadira saat di mintai pendapat tentang kelas barunya.
“ assalamualaikum “
Terdengar suara seorang guru memasuki kelas barunya. Bu Ningsih, itulah nama guru tersebut. Salah seorang guru senior di MAN. Badanya tinggi tegap, kulitnya sawo matang dan yang menjadi cirri khasnya adalah suaranya yang menggelegar. Ternyata beliau adalah wali kelas Nadira yang baru. Bu Ningsih berdiri di depan kelas, mengamati siswa – siswi yang berada di dalam ruangan. Tiba – tiba Bu Ningsih menutup hidung dan berkata “hem, bau yah?!”. Teman – teman langsung tertawa mendengar perkataan Bu Ningsih. Kebersihan bau di kelas Nadira memang sedang buruk karena seperuh lebih teman Nadira melepas sepatu dan kaos kainya karena basah terkena hujan.
“yah sudahlah, ibu bisa memakluminya kok, lain kali bawa pengharum ruangan yah biar baunya lebih sedap”
Bu Ningsih melanjutkan perkataanya, Bu Ningsih menasihati para siswanya agar belajar dengan sungguh – sungguh karena sudah kelas 3 dan akan mengikuti ujian nasional. Selain itu Bu Ningsih juga memberitahukan rencana try out serta bimbel yang akan dia adakan oleh sekolah dan wajib di ikuti oleh seluruh siswa. Bu Ningsih membagikan surat undangan rapat mengenai program sekolah khususuntuk siswa kelas 3 untuk para wali murid. Sebelum meninggalkan kelas Bu Ningsih memimpin untuk membentuk pengurus kelas.
Akhirnya dari voting terpilihlah Arif si juara kelas sebagai ketua kelas. Sedangkan untuk sekertaris langsung di tunjuk oleh para siswa yaitu Fatimah yang memang terkenal dengan tulisannya yang mempesona. Tiba pada pemilihan bendahara kali ini Bu Ningsih langsung yang menunjuk bendahara dan yang di tunjuk oleh Bu Ningsih adalah Nadira yang saat itu berada di depannya. Entah pertimbangan apa yang di pikirkan oleh Bu Ningsih hingga memilih Nadira.
Kemudian Bu Ningsih pun pamitan untuk pergi meninggalkan kelas dan mempersilakan sang ketua kelas untuk merbicara di depan kelas. Arif pun langsung berdiri di depan kelas. Bukan masalah kekompakan kelas yang ia bahas bukan ucapan terima kasih karena sudah terpilih menjadi ketua kelas yang sedang ia sampaikan namun ia sedang berorasi tentang rencana yang sudah ia susun dari jauh – jauh hari mengenai perpisan kelas nantinya. Rupanya ia ingin perpisahan kelas nanti di rayakan di Bali.
Semua makhluk yang ada di kelas itu melongo mendengar perkataan Arif. Seperti hal yang tak mungkin terjadi. “Jangankan untuk ke Bali, untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi saja masih mikir – mikir”, celoteh salah seorang anak yang bertubuh gendut yang dudukdi pojok kelas.
“ kita pasti bisa kawan, kita bisa menabung sehari 2.000 atau 3.000 sampai waktu perpisahan itu datang, dimana ada niat di sana pasti ada jalan”.
Arif berkata dengan sangat meyakinkan. Bujuk rayunya yang di bingkai dengan keenceran otaknya begitu membius teman sekelasnya. Hingga akhirnya semua teman sekelasnya menyanggupi untuk menabung 2.000 tiap hari agar bisa berlibur bersama di Bali.
“dan yang bertugas menarik uangnya setiap hari dan menyimpan uangnya adalah Nadira selaku bendahara”, Arif menambahkan seruannya
Nadira pun bingung, membayangkannya saja sudah bikin pusing. Bukan karena harus menagih uang 2.000 setiap hari dari teman – temannya namun bagaimana caranya ia menyimpan uang se banya itu nantinya. Ia tak mungkin menyimpannya di rumah dan tak mungkin juga menyimpannya di Bank karena ia tak punya rekening di Bank manapun.
Tiba – tiba Siti datang menghampirinya. “Nad, sisa uang khas tahun lalu ada di rekeningku, bendahara yang tahun kemarin menitipkannya padaku”. Mendengar hal itu Nadira langsung berkata Siti. Ti, uang kas yang tahun kemarin bawa aja dulu, sekalian yah, uang tabungan anak – anak ke Bali taruh juga di rekeningmu?!”. Siti tersenyum manis sambil menganggukkan kepala.
“akhirnya masalah terselesaikan!”, batin Nadira
Karena hari ini hari pertama masuk sekolah jadi belum ada pelajaran dan para siswa pun pulang lebih awal. Nadira tak langsung pulang ke rumah, Nadira melangkah ke luar kelas menuju halaman sekolah sambil membaea sepatu dan kaos kakinya. Ia sedang menjemur sepatunya agar cepat kering dan bisa segera pulang. Sambil menunggu kering Nadira menunggunya di teras kelas sambil duduk dan ngobrol bareng Ratna.
“rasanya aku sedit tak enak badan deh Rat gara – gara habis kehujanan tadi pagi”
“yah udah langsung pulang aja, sepatunya enggak usah di pakek, di masukin ke kresek aja!”
“nah, terus aku pulangnya pakek apa ?!”
“doorrr . . . “, lagi – lagi Nara datang dengan tiba – tiba di waktu yang tak tepat
“penting ga sih Nar kelakuan konyolmu itu, kaget tahu?!”, jutek Nadira kumat
“iyah deh maaf, eh Nad nyambung obrolan kita tadi pagi sekalian nyambung omongannya Bu Ningsih yuk?!”
“males, ah”
“gini nih Nad, kan kamu dulunya berasal dari SMP terbaik di kota ini terus terjerumus masuk ke MAN ini. Emang sih waktu kelas satu kamu masuk peringkat 10 besar tapi pas kelas 2 kamu kan masuk jajaran siswa yang berada di peringat 10 dari bawah, terus kamu punya rencana ke mana abis gini ?”
“hey, itu mulut kalau ngomong jangan asal nyerocos yah, gue jual seribu tiga di pasar loak loh, aku kan udah bilang kalau males ngomong sama kamu, pergi sana !”
“masya Allah yaa Allah, sadis bener sih Nad, aku kan cuman mau nanya aja, secara gitu kamu kan salah satu legenda di sekolah kita, salah satu mantan siswa dari SMP yang terbaik di kota kita”
Nadira tahu betul apa maksud Nara. Dahulu Nadira memang berasal dari SMP terbaik di kotanya, namun karena sebuah kesalahannya dia terpaksa masuk ke MAN. Secara, jaman sekarang gitu mana ada anak pandai yang mau masuk Madrasaha Aliyah. Sejak dahulu kala yang namanya Madrasah Aliyah kan selain terkenal dengan siswanya yang berasal dari keluarga yang ekonominya menengah ke bawah juga terkenal dengan siswanya yang kurang pandai dan nakal – nakal.
“kamu mau nyusul Mas Bagus yang keren itu masuk ke PTN atau kuliah ke perguruan tinggi yang berlatar belakang Islam melanjutkan keterjerumusanmu ?!”
“asem, makin lama mulutmu makin nyebelin yah, yah udah pastilah aku bakal nyusul Mas Bagus, puas !”
“santai aja neng enggak usah nyolot gitu, tapi apa kamu ngerasa yakin kan kalau di ingat – ingat prestasimu di MAN enggak baik – baik amat ?!”
Mendengar perkataan Nara, tempramen Nadira langsung kumat, darahnya serasa mendidih. Nadira paling tidak suka kalau di remehkan seperti ini. Mata Nadira saling beradu dengan mata Nara. Kemudian . . . .

jumlah kata :1977