Selasa, 03 Januari 2012

KSN chapter 1

Gerimis membasahi butiran tanah pagi ini, mendung di angkasa menutupi sinar centil sang mentari. Kicau burung di gantikan oleh merdunya nyanyian kodok dan jangkrik. Tak terlihat wajah semangat dalam aktivitas pagi para makhluk dunia, yang ada hanya wajah kesal karena harus berbasah – basah di pagi yang dingin.
Keadaan seperti inilah yang membuat mood Nadira tak sebaik biasanya. Gadis pendiam berwajah jutek yang suka senyum sinis ini sudah memasang raut masam sejak dari rumah. Apalagi sekarang angkot yang biasa mengangkutnya ke sekolah tak kunjung datang. Padahal Gerimis sudah hampir membuat jaketnya basah kuyup. Menggigil kedinginan di pinggir jalan yang di duetkan dengan perut yang lapar karena belum sempat makan membuat Nadira semakin terlihat bak nenek sihir yang siap memangsa anak kecil.
Padahal hari ini hari pertama Nadira masuk sekolah sebagai siswa kelas 3. Semalam ia telah banyak membuat rencana, agenda serta mimpi yang ingin ia gapai selama status siswa kelas 3 melekat padanya. Namun sepertinya gerimis telah memudarkan itu semua. Contohnya adalah Rencana Nadira untuk masuk pagi dan memilih bangku yang strategis pun gagal total gara – gara gerimis dan angkot yang tak kunjung datang.
10 menit menunggu, Akhirnya angkot berwarna kuning berlapis hijau yang hanya bisa memuat 15 orang itu pun datang bak kereta kencana penghapus lara. Nadira naik dan duduk di samping pak supir yang sedang menyupir, mengendarai angkot supaya baik jalannya. Ngeng, ngeng, ngeng. 30 menit kemudian sampailah Nadira di depan SPBU. Nadira turun masih dengan muka yang masam karena gerimis tak kunjung berhenti membasahi bumi.
Di depan SPBU Nadira melihat kepadatan manusia yang mengerumuni SPBU tersebut. Bukan hanya untuk mengisi bahan bakar tapi manusia – manusia itu hanya mampir sebentar untuk numpang memakai jas hujan karena kini bukan lagi gerimis yang turun tapi hujan di sertai angin sepoi – sepoi atau numpang buang air di toilet SPBU tersebut. Namun Nadira turun di depan SPBU bukan untuk mengamati aktivitas itu. Dia sengaja turun di depan SPBU karena di samping SPBU tersebut ada jembatan penyebrangan yang harus dia lewati agar bisa sampai ke sekolahnya.
Setelah berhasil melewati jembatan penyebrangan dengan ratusan anak tangga yang membuat tenaganya habis, Nadira masih harus berjalan sekitar 100 meter untuk bisa menuntut ilmu. Hujan makin menggila, angin pun sudah tak sepoi – sepoi namun berevolusi, semakin menggila menyerupai puting beliung. Nadira pun berlari, kubangan air pun dia lalui dengan sangat tidak hati – hati. Akibatnya sepatu dan kaos kakinya basah. “sempurna sudah penderitaanku”, batinnya.
Sampailah Nadira di depan gerbang sekolahnya. Madrasah Aliya Negeri Sumadya atau yang biasa di sebut dengan MANSDA. Satu – satunya Madrasah Aliyah Negeri yang ada di kotanya. Begitu memasuki gerbang berlapis dua itu Nadira sedikit mengurangi kecepatan langkah kakinya agar tak terpeleset di atas lantai yang juga basah. Lantai di depan kelas – kelas memang terkenal sangat licin apa lagi saat hujan melanda.
Hati Nadira sedang tak tenang walau sudah mengurangi kecepatan langkah kakinya namun kecemasan tergambar jelas di mukanya. Yang sedang dia pikirkan adalah tempat duduk. Rupanya dia masih mengharap bisa dapat tempat duduk yang strategis walaupun ia tahu kalau dia sudah sangat terlambat dan sepertinya tak mungkin mendapatkannya. Saat Nadira bergelut Dalam kecemasan yang tak menentu inilah tiba – tiba Nara menepuk bahunya.
“eh, nadira, kamu tahu engga sih, kakak kelas kita yang dulunya anak IPA 1 sekarang udah keterima masuk ke PTN yang ada di Surabaya loh?”, langsung nyerocos tak tentu arah
“kakak kelas yang mana sih Na?”, mencoba menanggapi omongan Nara
“haduh, kamu ini, kakak kelas yang pinter banget itu loh, yang pernah bawa mobil ke sekolah, Mas Bagus kalo nggak salah namanya”
“oalah, Bagus Ardiansyah toh?”
“iyah, yang keren itu loh, tahu nggak kamu dia masuk jurusan apa ?”, dengan gaya hebohnya yang melegenda
“mana aku tahu, emang masuk jurusan apa ?”
“jurusan kedokteran”
“asem, beneran masuk kedokteran, itu kan mahal gila bok?”, pura – pura kaget dengan gaya ala Fitri Tropika untuk menyenangkah hati Nara
“enggak usah kagetlah dia kan tajir gila”
“ iyah lah, dia kan sempet menggemparkan satu sekolah dengan membawa mobil ke sekolah”, mulai males menanggapi omongan Nara
“iyah dong sapa dulu Mas . . .
“yah udahlah yah, enggak usah di bahas lagi masuk ke kelas yuk”, potong Nadira sambil berjalan mendahului Nara
“eh Nadira aku belum selesai ngomong?”
Dasar si Nara, padahal seragamnya lebih basah dari Nadira dan mukanya pun lebih acak – acakan dari Nadira, namun masih sempat ngegosipin orang. Saat melangkahkan kaki, Nadira merenungi kata – kata Nara. Memang benar sih kalau ingat nama Bagus Ardiansyah, yang tergambar pertama kali adalah anak paling kaya di sekolah. Laki – laki jangkung yang selalu mengenakan kaca mata itu memang tak terlalu ganteng, tapi kalau di bandingkan dengan teman – temannya dia cukup bening. Kulitnya putih, bajunya selalu terlihat baru tak pernah terlihat lecek dan bau. Dia begitu terkenal karena kekayaanya, walaupu tak sekaya keluarga Bakrie namun menurut masyarakat MAN tetap saja dia kaya. Maklumlah, seperti kebanyakan Madrasah Aliyah lainnya, sekolah Nadira juga di dominasi dengan siswa yang latar belakang ekonomi keluarganya adalah menengah ke bawah. Karena itulah satu sekolah langsung gempar ketika Bagus Ardiansyah pergi ke sekolah dengan mengendarai mobil.
Begitu sampai di pintu kelas, Nadira langsung di sambut dengan senyum manis Ratna, sahabat baiknya.
“hai Nad, kita dapat bangku paling depan, bangku yang pas banget berada di depan meja guru ?!”, sambil menggeret tangan Nadira
Nadira berjalan tergopong memasuki kelas yang bergorgen hijau itu karena tarikan tangan Ratna.
“ini dia bangku kita strategis banget kan?!”
“ya ampun Ratna makasih banget yah, aku kira enggak bakalan dapet posisi yang strategis karena telat masuk”.
Ratna tersenyum manis. Nadira benar – benar bersyukur karena mendapatkan posisi duduk yang strategis walaupun hari ini banyak sekali kesialan yang dia dapat. Menurut Nadira posisi duduk sangat penting karena dia meyakini petuah yang berbunyi posisi menentukan prestasi. Nadira langsung duduk di kursi yang sudah tersedia untuknya, segera ia melepaskan jaket dan sepatu serta kaos kaki yang basah sambil mengamati kelas barunya. Kelas yang terlalu sempit, cat tembok berwarna hijau mudah dan beberapa rumus yang terpajang di tembok. “adem”, itulah kata Nadira saat di mintai pendapat tentang kelas barunya.
“ assalamualaikum “
Terdengar suara seorang guru memasuki kelas barunya. Bu Ningsih, itulah nama guru tersebut. Salah seorang guru senior di MAN. Badanya tinggi tegap, kulitnya sawo matang dan yang menjadi cirri khasnya adalah suaranya yang menggelegar. Ternyata beliau adalah wali kelas Nadira yang baru. Bu Ningsih berdiri di depan kelas, mengamati siswa – siswi yang berada di dalam ruangan. Tiba – tiba Bu Ningsih menutup hidung dan berkata “hem, bau yah?!”. Teman – teman langsung tertawa mendengar perkataan Bu Ningsih. Kebersihan bau di kelas Nadira memang sedang buruk karena seperuh lebih teman Nadira melepas sepatu dan kaos kainya karena basah terkena hujan.
“yah sudahlah, ibu bisa memakluminya kok, lain kali bawa pengharum ruangan yah biar baunya lebih sedap”
Bu Ningsih melanjutkan perkataanya, Bu Ningsih menasihati para siswanya agar belajar dengan sungguh – sungguh karena sudah kelas 3 dan akan mengikuti ujian nasional. Selain itu Bu Ningsih juga memberitahukan rencana try out serta bimbel yang akan dia adakan oleh sekolah dan wajib di ikuti oleh seluruh siswa. Bu Ningsih membagikan surat undangan rapat mengenai program sekolah khususuntuk siswa kelas 3 untuk para wali murid. Sebelum meninggalkan kelas Bu Ningsih memimpin untuk membentuk pengurus kelas.
Akhirnya dari voting terpilihlah Arif si juara kelas sebagai ketua kelas. Sedangkan untuk sekertaris langsung di tunjuk oleh para siswa yaitu Fatimah yang memang terkenal dengan tulisannya yang mempesona. Tiba pada pemilihan bendahara kali ini Bu Ningsih langsung yang menunjuk bendahara dan yang di tunjuk oleh Bu Ningsih adalah Nadira yang saat itu berada di depannya. Entah pertimbangan apa yang di pikirkan oleh Bu Ningsih hingga memilih Nadira.
Kemudian Bu Ningsih pun pamitan untuk pergi meninggalkan kelas dan mempersilakan sang ketua kelas untuk merbicara di depan kelas. Arif pun langsung berdiri di depan kelas. Bukan masalah kekompakan kelas yang ia bahas bukan ucapan terima kasih karena sudah terpilih menjadi ketua kelas yang sedang ia sampaikan namun ia sedang berorasi tentang rencana yang sudah ia susun dari jauh – jauh hari mengenai perpisan kelas nantinya. Rupanya ia ingin perpisahan kelas nanti di rayakan di Bali.
Semua makhluk yang ada di kelas itu melongo mendengar perkataan Arif. Seperti hal yang tak mungkin terjadi. “Jangankan untuk ke Bali, untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi saja masih mikir – mikir”, celoteh salah seorang anak yang bertubuh gendut yang dudukdi pojok kelas.
“ kita pasti bisa kawan, kita bisa menabung sehari 2.000 atau 3.000 sampai waktu perpisahan itu datang, dimana ada niat di sana pasti ada jalan”.
Arif berkata dengan sangat meyakinkan. Bujuk rayunya yang di bingkai dengan keenceran otaknya begitu membius teman sekelasnya. Hingga akhirnya semua teman sekelasnya menyanggupi untuk menabung 2.000 tiap hari agar bisa berlibur bersama di Bali.
“dan yang bertugas menarik uangnya setiap hari dan menyimpan uangnya adalah Nadira selaku bendahara”, Arif menambahkan seruannya
Nadira pun bingung, membayangkannya saja sudah bikin pusing. Bukan karena harus menagih uang 2.000 setiap hari dari teman – temannya namun bagaimana caranya ia menyimpan uang se banya itu nantinya. Ia tak mungkin menyimpannya di rumah dan tak mungkin juga menyimpannya di Bank karena ia tak punya rekening di Bank manapun.
Tiba – tiba Siti datang menghampirinya. “Nad, sisa uang khas tahun lalu ada di rekeningku, bendahara yang tahun kemarin menitipkannya padaku”. Mendengar hal itu Nadira langsung berkata Siti. Ti, uang kas yang tahun kemarin bawa aja dulu, sekalian yah, uang tabungan anak – anak ke Bali taruh juga di rekeningmu?!”. Siti tersenyum manis sambil menganggukkan kepala.
“akhirnya masalah terselesaikan!”, batin Nadira
Karena hari ini hari pertama masuk sekolah jadi belum ada pelajaran dan para siswa pun pulang lebih awal. Nadira tak langsung pulang ke rumah, Nadira melangkah ke luar kelas menuju halaman sekolah sambil membaea sepatu dan kaos kakinya. Ia sedang menjemur sepatunya agar cepat kering dan bisa segera pulang. Sambil menunggu kering Nadira menunggunya di teras kelas sambil duduk dan ngobrol bareng Ratna.
“rasanya aku sedit tak enak badan deh Rat gara – gara habis kehujanan tadi pagi”
“yah udah langsung pulang aja, sepatunya enggak usah di pakek, di masukin ke kresek aja!”
“nah, terus aku pulangnya pakek apa ?!”
“doorrr . . . “, lagi – lagi Nara datang dengan tiba – tiba di waktu yang tak tepat
“penting ga sih Nar kelakuan konyolmu itu, kaget tahu?!”, jutek Nadira kumat
“iyah deh maaf, eh Nad nyambung obrolan kita tadi pagi sekalian nyambung omongannya Bu Ningsih yuk?!”
“males, ah”
“gini nih Nad, kan kamu dulunya berasal dari SMP terbaik di kota ini terus terjerumus masuk ke MAN ini. Emang sih waktu kelas satu kamu masuk peringkat 10 besar tapi pas kelas 2 kamu kan masuk jajaran siswa yang berada di peringat 10 dari bawah, terus kamu punya rencana ke mana abis gini ?”
“hey, itu mulut kalau ngomong jangan asal nyerocos yah, gue jual seribu tiga di pasar loak loh, aku kan udah bilang kalau males ngomong sama kamu, pergi sana !”
“masya Allah yaa Allah, sadis bener sih Nad, aku kan cuman mau nanya aja, secara gitu kamu kan salah satu legenda di sekolah kita, salah satu mantan siswa dari SMP yang terbaik di kota kita”
Nadira tahu betul apa maksud Nara. Dahulu Nadira memang berasal dari SMP terbaik di kotanya, namun karena sebuah kesalahannya dia terpaksa masuk ke MAN. Secara, jaman sekarang gitu mana ada anak pandai yang mau masuk Madrasaha Aliyah. Sejak dahulu kala yang namanya Madrasah Aliyah kan selain terkenal dengan siswanya yang berasal dari keluarga yang ekonominya menengah ke bawah juga terkenal dengan siswanya yang kurang pandai dan nakal – nakal.
“kamu mau nyusul Mas Bagus yang keren itu masuk ke PTN atau kuliah ke perguruan tinggi yang berlatar belakang Islam melanjutkan keterjerumusanmu ?!”
“asem, makin lama mulutmu makin nyebelin yah, yah udah pastilah aku bakal nyusul Mas Bagus, puas !”
“santai aja neng enggak usah nyolot gitu, tapi apa kamu ngerasa yakin kan kalau di ingat – ingat prestasimu di MAN enggak baik – baik amat ?!”
Mendengar perkataan Nara, tempramen Nadira langsung kumat, darahnya serasa mendidih. Nadira paling tidak suka kalau di remehkan seperti ini. Mata Nadira saling beradu dengan mata Nara. Kemudian . . . .

jumlah kata :1977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar